About Me

Selasa, 02 Januari 2018

Menaklukan 18 Kelokan - Curug Cimahi



Kabut mulai turun. Air sisa curahan hujan terkadang masih jatuh mengenai kulit. Hawa dingin mulai merambah. Suhu di kawasan dengan ketinggian sekitar 1.000 mdpl ini berkisar 20 derajat celcius.

Mungkin beginilah nasib, piknik ke air terjun di musim penghujan. Berangkatnya sudah ba'da duhur pula. Sebelum sampai lokasi kami pun sudah sempat ngeyup di warung soto yang ternyata sedang dibereskan dagangannya di Jalan Cihanjuang atas. Padahal niatnya berteduh sembari makan jadi engga bengong-bengong amat kan? untunglah, si penjual sotonya baik, kami diberi diperbolehkan meminjam kursi.

Bagi masyarakat Bandung dan sekitarnya, pastilah sudah familiar dengan Curug Cimahi. Terjunan air ini berasal dari Sungai Cimahi yang berhulu di Gunung Burangrang. Meski letaknya di pinggir jalan raya Kolonel Masturi kawasan hutannya sangat asri. Begitu masuk, kita berasa di rimba dengan alunan nada alami. Tongeret dan sahut-sahutan monyet liar. Dedaunan bergesek terembus angin. Tak terdengar bising kendaraan. Yang ada hanyalah simfoni alam. Ibarat surga yang tersembunyi dibawah jalan raya.




Air yang jatuh dari ketinggian kurang lebih 87 meter ini seakan memanggil-manggil agar kaki cepat-cepat melangkah. Namun, untuk sampai ke bawah kita harus melewati 18 kelokan dengan 587 titian tangga. Tidak usah buru-buru, ada dua dek tempat kita bisa rehat memandang eksotisnya kawasan air terjun yang dikelola Perhutani Bandung Utara ini. Ada juga beberapa spot gasibu untuk meluruskan kaki sejenak. Jangan lupa, menghirup oksigen sebanyak-banyaknya. Agar tubuh kita fresh kembali. Udara di sini masih murni tak seperti di perkotaan yang sudah mulai kotor akibat karbonmonoksida, sisa pembakaran kendaraan bermotor. Belum bagi yang tinggal di kawasan pabrik dengan polutan yang tak bisa dihindari.

Fakta: Nama curug diambil dari nama sungai. Lokasi Curug Cimahi berada dalam wilayah Kabupaten Bandung Barat bukan Kota Cimahi


Mengenal Alam Sejak Dini



Tujuan utama kami ke sini adalah sengaja membawa piknik duo krucil yang masih balita agar lebih dekat dengan alam. Di Kota Bandung, sudah langka dijumpai spot-spot natural kecuali di pinggirannya. Layaknya membawa mereka ke Toko Buku Gramedia, mereka buncah dengan buku-buku anak, di sini adalah surga mengembangkan kemampuan naturalist. Kemampuan memahami dan memanfaatkan lingkungan.

"Suara apa itu, Ibu? Ini apa, Ibu? Ada pohon apa itu, Ibu? Itu apa, Ibu?..." Rasa ingin tahu Namiya langsung keluar. 

Meskipun yang kecil belum bisa berbicara seperti kakaknya, Oziel tak kalah penasarannya, ia langsung merosot minta turun dari gendongan. Ingin melalui anak tangga sendiri. Tangannya mulai menyentuh ini itu, sesuatu yang jarang sekali ditemui di tempat tinggal kami di kota.

Peran ayah dan ibu di sini sangat penting. Sabar menjawab setiap pertanyaan termasuk mengenalkan ini itu terhadap mereka. Sehingga seimbanglah pengetahuan mereka. Bahwa alam juga bagian kita. Termasuk menunjukkan kabut yang mulai menutupi kawasan ini.




Sayangnya, waktu kami datang air berwarna kecoklatan. Mungkin karena habis hujan atau bisa juga di daerah hulunya tengah hujan. Saya pun takut bercebur. Hanya puas memandang dari atas kelokan terakhir. Sampai akhirnya, suami memastikan tidak apa-apa turun ke bawah dan saya bersama duo krucil mengikut, memandang air terjun dari jembatan kayu. Saya tetap tidak mau turun ke aliran air. Padahal menggoda sekali bermain air di sini. Apalagi cipratan air seolah mencolek-colek. Namun, saya terlalu parno dengan berita banjir bandang akhir-akhir ini. Bagaimana kalau tiba-tiba, saat kami tengah asyik, air bah datang. Di lokasi lembah seperti ini kecil kemungkinan untuk selamat. Apalagi ada dua nyawa amanah yang harus saya jaga. Akhirnya, saya hanya terus menatap ke atas asal air terjun.

Gerimis turun, saya makin panik dan mengajak suami segera ke atas. Apalagi ada papan pengumuman kalau hujan deras, selain tidak boleh turun ke sungai, pengunjung juga harus segera naik.

Pelajarannya, jangan ke air terjun saat musim penghujan. Terlalu banyak khawatir malah jadi tidak bisa menikmati waktu bersama alam yang langka.

Meski tidak bisa berbasuh di sungai, di tebing-tebing pinggir anak tangga banyak mata air yang menetes lho. Ini mengobati saya yang tidak menyentuh air di bawah. Airnya jernih dan sensasi dinginnya seakan menembus pori-pori. Saya dan anak-anak, riang menyiramkan air ke beberapa anggota badan.




Sampai di atas ada dua bapak-bapak yang sedang bersiul-siul aneh. Tak lama datanglah segerombolan monyet liar. Sang bapak yang lebih tua disebut pawang oleh yang lebih muda sedang melemparkan sisa-sisa makanan dan buah-buahan. Kera makan dengan lahap. Bahkan ada monyet kecil masih merah dalam dekapan indungnya. Oziel yang gemes bisa cekikikan sendiri.

Tips: Yang perlu dipersiapkan kalau ke sini adalah fisik. 

Hujan turun. Sembari menunggu reda, kami makan di warung sekitar parkiran. Ada prasmanan dan menu terlezat di pegungan, mie instan dan secangkir kopi instan. Diiringi gemericik hujan, mie instan ini sangat yummy.

Hari hujan membuat air terjun tutup lebih awal. Kata pemilik warung, biasanya bisa sampai jam delapan. Malam-malam ngapain ke curug, gelap? Eitss jangan salah karena inovasi Perhutani, air terjun diberi lampu warna-warni sehingga nyala lampunya berefek seperti pelangi. Karenanya, curug ini dikenal juga dengan rainbow waterfall atau air terjun pelangi. Jadi fungsi dek dan bangku-bangku dari karet tadi bisa untuk menikmati ini saat malam hari. Seru!

Nah, menurut ibu warung memang ada pelangi aslinya. Hasil pembiasan cahaya matahari tapi itu jarang terjadi karena sifatnya alam, jadi ya tidak bisa ditebak. Karena masih kepikiran banjir, saya pun bertanya apakah pernah banjir besar."Airnya segitu-gitu saja, tidak pernah banjir yang besar. Yang rawan itu longsor," katanya.







Mau kesana?

Kalau dengan kendaraan pribadi, tinggal minta bantuan google maps. Cukup mengetikkan Curug Cimahi akan segera keluar petunjuk arahnya. Curug Cimahi, lokasinya pun persis di pinggir Jalan Raya Kolonel Masturi Cihanjuang Rahayu, Parongpong, Cisarua Bandung Barat, sehingga tidak akan susah menemukannya. Kalau menggunakan kendaraan umum bisa menggunakan angkot jurusan Ledeng - Parongpong. kemudian ganti dengan rute Parongpong - Padalarang turun di terminal Cisarua. Kunci naik angkot jangan malu bertanya daripada salah jalur. Harga tiket masuk saat kami berkunjung Desember 2017 yaitu Rp 15 ribu/orang dewasa. Parkir sepeda motor Rp 3.000,00.




*Foto-foto dokumen pribadi @chidarma













Tidak ada komentar:

Posting Komentar